Friday, January 7, 2011

Hadis tentang ahlul bait

Keistimewaan ahlul bait

Sabda Rasulullah SAW: "Mengapa ada orang-orang yang mengatakan bahwa hubungan kekerabatan dengan Rasulullah tidak bermanfaat pada hari kiamat? Sungguhlah, kekerabatanku berkesinambungan di dunia dan akhirat"
Sabda Rasulullah SAW: "Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni langit, sedang ahlul-baitku keselamatan bagi penghuni bumi"

Ahlul bait adalah bekal dari Rasulullah

Sahih Muslim: Zain bin Arqam berkata Rasulullah bersabda: "Amma ba'du. Hai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah hamba Allah. Utusan Tuhanku (Malaikat Maut) hampir tiba dan aku harus memenuhi panggilanNya. Aku tinggalkan pada kalian Ath-thaqalain (dua bekal berat). Yang pertama adalah Kitabullah (Al-Quran) , di dalamnya terdapat petunjuk dan cahay terang. Maka amalkan dan berpeganglah padanya". "Dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku"

Manfaat mencintai ahlul-bait

Hadis riwayat Imam Ahmad bin Hambal:
"Barangsiapa mencitaiku dan mencintai keduanya itu (yakni Al Hassan dan Al-Hussein) serta mencintai ibu dan bapa mereka, yakni Fatimah az-Zahra dan Sayyidina 'Ali - kemudian ia meninggal dunia sebagai pengikut sunnahku, ia bersamaku di dalam syurga yang sederajat"
"Pada hari kiamat aku akan akan menjadi syafi' (penolong) bagi empat golongan. Yang menghormati keturunanku; yang memenuhi keperluan mereka; yang berupaya membantu urusan mereka pada waktu diperlukan dan yang mencintai mereka sepenuh hati"

Wasiat agar umat Islam mencintai ahlul-bait

Hadis riwayat At -Thabarani dan lain-lain: "Belum sempurna keiimanan seorang hamba Allah sebelum kecintannya kepadaku melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri; sebelum kecintannya kepada keturunanku melebihi kecintaannya kepada keturunannya sendiri; sebelum kecintaannya kepada ahli-baitku melebihi kecintaannya kepada keluarganya sendiri, dan sebelum kecintannya kepada zatku melebihi kecintaannya kepada zatnya sendiri".
Ibnu 'Abbas RA berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: "Cintailah Allah atas kenikmatannya yang diberikanNya kepadamu sekalian dan cintailah aku dengan mencintai Allah dan cintailah ahlul-baitku karena mencintaiku"
Ad-Dailami meriwayatkan hadis dari Ali RA yang menyebut sabda Rasulullah SAW: "Di antara kalian yang paling mantap berjalan di atas sirath ialah yang paling besasr kecintaannya kepada ahlul-baitku dan para sahabatku"

Siapakah Ahlul Bait

Hadis Al Hakim berasal dari Zaid bin Arqam r.a.,
".. Mereka (ahlul bait) adalah keturunanku, dicipta dari darah dagingku dan dikurniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah orang dari umatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubungan denganku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Kepada orang-orang seperti ini, Allah SWT tidak akan menurunkan syafaatku (pertolonganku)"

Thursday, January 6, 2011

Wasiat agar umat Islam mencintai ahlul-bait

Keistimewaan ahlul bait
Sabda Rasulullah SAW: "Mengapa ada orang-orang yang mengatakan bahwa hubungan kekerabatan dengan Rasulullah tidak bermanfaat pada hari kiamat? Sungguhlah, kekerabatanku berkesinambungan di dunia dan akhirat"
Sabda Rasulullah SAW: "Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni langit, sedang ahlul-baitku keselamatan bagi penghuni bumi"
Ahlul bait adalah bekal dari Rasulullah
Sahih Muslim: Zain bin Arqam berkata Rasulullah bersabda: "Amma ba'du. Hai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah hamba Allah. Utusan Tuhanku (Malaikat Maut) hampir tiba dan aku harus memenuhi panggilanNya. Aku tinggalkan pada kalian Ath-thaqalain (dua bekal berat). Yang pertama adalah Kitabullah (Al-Quran) , di dalamnya terdapat petunjuk dan cahay terang. Maka amalkan dan berpeganglah padanya". "Dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku"
Manfaat mencintai ahlul-bait
Hadis riwayat Imam Ahmad bin Hambal:
"Barangsiapa mencitaiku dan mencintai keduanya itu (yakni Al Hassan dan Al-Hussein) serta mencintai ibu dan bapa mereka, yakni Fatimah az-Zahra dan Sayyidina 'Ali - kemudian ia meninggal dunia sebagai pengikut sunnahku, ia bersamaku di dalam syurga yang sederajat"
"Pada hari kiamat aku akan akan menjadi syafi' (penolong) bagi empat golongan. Yang menghormati keturunanku; yang memenuhi keperluan mereka; yang berupaya membantu urusan mereka pada waktu diperlukan dan yang mencintai mereka sepenuh hati"
Wasiat agar umat Islam mencintai ahlul-bait
Hadis riwayat At -Thabarani dan lain-lain: "Belum sempurna keiimanan seorang hamba Allah sebelum kecintannya kepadaku melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri; sebelum kecintannya kepada keturunanku melebihi kecintaannya kepada keturunannya sendiri; sebelum kecintaannya kepada ahli-baitku melebihi kecintaannya kepada keluarganya sendiri, dan sebelum kecintannya kepada zatku melebihi kecintaannya kepada zatnya sendiri".
Ibnu 'Abbas RA berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: "Cintailah Allah atas kenikmatannya yang diberikanNya kepadamu sekalian dan cintailah aku dengan mencintai Allah dan cintailah ahlul-baitku karena mencintaiku"
Ad-Dailami meriwayatkan hadis dari Ali RA yang menyebut sabda Rasulullah SAW: "Di antara kalian yang paling mantap berjalan di atas sirath ialah yang paling besasr kecintaannya kepada ahlul-baitku dan para sahabatku"
Siapakah Ahlul Bait
Hadis Al Hakim berasal dari Zaid bin Arqam r.a.,
".. Mereka (ahlul bait) adalah keturunanku, dicipta dari darah dagingku dan dikurniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah orang dari umatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubungan denganku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Kepada orang-orang seperti ini, Allah SWT tidak akan menurunkan syafaatku (pertolonganku)"

Rasulullah merindui umat akhir zaman...

"Aku merindui umat akhir zaman...."


Suasana di majlis pertemuan itu hening sejenak. Semua yang hadir diam membatu. Mereka seperti sedang memikirkan sesuatu. Lebih-lebih lagi Saidina Abu Bakar. Itulah pertama kali dia mendengar orang yang sangat dikasihi melafazkan pengakuan demikian.


Seulas senyuman yang sedia terukir dibibirnya pun terungkai. Wajahnya yang tenang berubah warna. "Apakah maksudmu berkata demikian wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu? " Saidina Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mula menyerabut fikiran.


"Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku (ikhwan)," suara Rasulullah bernada rendah.


"Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah," kata seorang sahabat yang lain pula. Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian baginda bersuara:


"Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada anak-anak dan orang tua mereka."


Pada ketika yang lain pula, Rasulullah menceritakan tentang keimanan ‘ikhwan’ baginda: "Siapakah yang paling ajaib imannya?" tanya Rasulullah.


"Malaikat," jawab sahabat.


"Bagaimana para malaikat tidak beriman kepada Allah, sedangkan mereka sentiasa hampir dengan Allah," jelas Rasulullah. Para sahabat terdiam seketika. Kemudian mereka berkata lagi, " Para nabi."


"Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka."


"Mungkin kami," celah seorang sahabat.


"Bagaimana kamu tidak beriman, sedangkan aku berada ditengah-tengah kamu," pintas Rasulullah menyangkal hujah sahabatnya itu.


"Kalau begitu, hanya Allah dan Rasul-Nya sahaja yang lebih mengetahui," jawab seorang sahabat lagi, mengakui kelemahan mereka.


"Kalau kamu ingin tahu siapa mereka? Mereka ialah umatku yang hidup selepasku. Mereka membaca Al Quran dan beriman dengan semua isinya. Berbahagialah orang yang dapat berjumpa dan beriman denganku. Dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman denganku tetapi tidak pernah berjumpa denganku," jelas Rasulullah.


"Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka," ucap Rasulullah lagi setelah seketika membisu. Ada berbaur kesayuan pada ucapannya itu.


Begitulah nilaian Tuhan. Bukan jarak dan masa yang menjadi ukuran. Bukan bertemu wajah itu syarat untuk membuahkan cinta yang suci. Pengorbanan dan kesungguhan untuk mendambakan diri menjadi kekasih kepada kekasih-Nya itu, diukur pada hati dan buktikan dengan kesungguhan beramal dengan Sunnahnya.


Pada kita yang bersungguh-sungguh mahu menjadi kekasih kepada kekasih Allah itu, wajarlah bagi kita untuk mengikis cinta-cinta yang lain. Cinta yang dapat merenggangkan hubungan hati kita dengan baginda Rasulullah.


Selawat & salam buat junjungan mulia Rasulullah.s.a.w..."Bersel....awatlah untukku satu kali, maka Allah akan berselawat untuk nya 10 kali” hadis riwayat muslim(1/288, no.384)


Sabda Nabi SAW “ Dari Ibnu Mas’ud r.a. bahawa Rasulullah s.a.w bersabda : Orang yang terdekat denganku pada hari kiamat ialah orang yang paling banyak berselawat kepadaku.” (Hadis Riwayat At-Tarmidzi)


Sabda Nabi SAW : “ Dari Abu Hurairah r.a berkata : Rasulullah s.a.w bersabda : Janganlah kamu jadikan kuburku sebagai tempat perayaan dan berselawatlah kepadaku , maka sesungguhnya bacaan selawatmu itu akan sampai kepadaku dimana sahaja kamu berada .“ (Hadis Riwayat Abu Daud)


Ketika berjumpa sahabat handai atau saudara mara sesama Islam . Sabda Nabi s.a.w : “ Tiadalah dua hamba yang saling cinta mencintai kerana Allah yang berjumpa salah seorang yang lain lalu berjabat tangan ( bersalam ) dan berselawat kepada Nabi s.a.w . melainkan Allah mengampuni dosanya sebelum mereka berpisah , baik yang telah lalu ataupun yang akan datang.“ (Hadis riwayat Ibnu Sunni)


Ketika akan memulakan sesuatu pekerjaan yang baik atau penting . Sabda Nabi s.a.w : “ Setiap pekerjaan yang baik yang tidak dimulai dengan hamdalah (memuji Allah) dan selawat , maka pekerjaan atau urusan itu terputus dan hilang barkahnya.“ (Hadis Riwayat Ar-Rahawi)


Ketika mendengar orang menyebut nama Nabi s.a.w . Sabda Nabi s.a.w : “ orang yang bakhil itu adalah orang yang tidak mahu berselawat ketika orang menyebut namaku di sisinya.“ (Hadis Riwayat At-Tirmidzi)


Ketika telinga berdengung . Sabda Nabi s.a.w : “ Jika telinga salah seorang dari kamu berdengung , maka hendaklah ia mengingati dan berselawat kepadaku.“ (Hadis Riwayat Ibnu Sunni)


Ketika mengalami kesusahan dan kebimbangan. Diberitakan oleh Ubay bin Kaab r.a. bahawa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w, ujurnya : “ Ya Rasulullah bagaimana pendapat engkau sekiranya aku jadikan selawat untuk engkau semua? Jawap Rasulullah s.a.w “ Kalau demikian Allah akan memelihara engkau baik mengenai dunia mahu pun mengenai akhiratmu.“ (Hadis Riwayat Ahmad)


Setiap waktu pagi dan petang . Sabda Nabi s.a.w : “ Barang siapa berselawat kepadaku waktu pagi sepuluh kali dan waktu petang sepuluh kali , maka ia akan mendapat syafaatku di hari kiamat.“ (Hadis Riwayat Thabarani)


Berdasarkan dari hadis-hadis diatas, jelas bahawa membaca selawat kepada Nabi s.a.w adalah suatu dari rangkaian iman dan ibadah yang wajib disempurnakan oleh kaum Muslimin dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Semoga dengan sentiasa berselawat ke atas Nabi, Allah akan memberi rahmat dan keberkatan dalam kehidupan kaum Muslimin.


Fadilat Selawat - untuk renungan


Rasulullah SAW telah bersabda bahawa, "Malaikat Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail A.S. telah berkata kepadaku. Berkata Jibril A.S. : "Wahai Rasulullah, barang siapa yang membaca selawat ke atasmu tiap-tiap hari sebanyak sepuluh kali, maka akan saya bimbing tangannya dan akan saya bawa dia melintasi titian seperti kilat menyambar."


Berkata pula Mikail A.S. : "Mereka yang berselawat ke atas kamu akan aku beri mereka itu minum dari telagamu."


Berkata pula Israfil A.S. : "Mereka yang berselawat kepadamu akan aku sujud kepada Allah S.W.T dan aku tidak akan mengangkat kepalaku sehingga Allah S.W.T mengampuni orang itu."


Malaikat Izrail A.S pula berkata : "Bagi mereka yang berselawat ke atasmu, akan aku cabut ruh mereka itu dengan selembut-lembutnya seperti aku mencabut ruh para nabi-nabi."


Apa kata kita....?


Luangkan sedikit dari masamu untuk ke majlis ilmu / zikir.

[Adab Belajar Dan Disiplin Ilmu] Belajarlah “Tidak Tahu”!


Disediakan oleh : Ustaz Syed Abdul Kadir Al Joofre

Saya tertarik dengan status YM seorang sahabat di Mesir di dalam Bahasa Arab yang maknanya lebih kurang begini:


Belajarlah “aku tidak tahu”, kerana jika engkau belajar “aku tidak tahu“, mereka akan mengajar engkau sehingga engkau tahu, tetapi jika engkau belajar “aku tahu” maka mereka akan bertanya engkau sehingga engkau tidak tahu!!


Boleh faham kot..

Pulang ke Malaysia ni, saya ditanya pelbagai soalan. Ada yang bertanya begini, “Saya dengar orang kata hukum A begini….” atau ” Kakak saya kata saya wajib buat begini kerana saya lakukan kesalahan tu” dan pelbagai soalan yang senada.

Saya terfikir. Mudah betul masyarakat kita mengeluarkan hukum syara’ ya.

Dalam tazkirah di Masjid Al-Ikhlas, Selayang Baru, beberapa hari lepas, saya ada menyebut betapa ada di kalangan kita yang menjawab persoalan hukum dengan ayat “saya rasa” atau “i think”. Respons dari jemaah masjid, saya lihat mengiyakan kenyataan saya.

Amat ramai masyarakat kita yang tidak berautoriti dalam masalah hukum, mengeluarkan fatwa. Di lelaman siber lebih-lebih lagi. Alasan mereka, “Islam untuk semua”. Ya, memang Islam untuk semua. Ilmu Islam juga terbuka buat semua ummat mempelajarinya. Tetapi bezakan dengan memberikan hukum. Proses pengeluaran hukum terlalu payah dan berat.

Ulamak terdahulu ada yang menyebutkan, “Apabila aku ditanya satu persoalan, terlalu berat bagiku, bagai terpampang di hadapanku neraka dan syurga.” Hingga mereka terlalu takut untuk menjawab persoalan. Takut dicampak ke neraka. Malah kita semua dah dengar kisah Imam Malik yang menjawab beberapa persoalan sahaja dari puluhan yang ditanya. Malah akan dibentak apabila dikatakan “ini kan soalan simple je wahai Imam?”

Ulamak juga kata, perkataan “tidak tahu” itu separuh dari ilmu. Kita pula tidak. Bagai seorang yang paling tahu semua perkara. Sampai habis para ulamak dahulu pun dibantainya.

Apa beza kita dengan ulamak dahulu sehingga mereka mudah menyebut Wallahu A’lam atau “aku tidak tahu”? Tentu sekali taqwa. Mereka lebih takutkan konsekuensi menjawab itu berbanding kita yang memiliki ego mengatasi taqwa. Bulan ramadhan ini mengajar kita bertaqwa, jadi mari kita aplikasikan juga taqwa di sini.

Kalau kita sangka kita tahu, sedangkan kita sebenarnya tak tahu, inilah yang dinamakan sebagai jahil murakkab. Jahil tahap paling teruk. Jahil berganda. Pertamanya, jahil permasalahan tu. Keduanya jahilkan kelemahan diri tu sendiri. Seterusnya menyangkakan yang batil itulah haq. Kasihan bukan?

Maka itu kita kena budayakan sifat “aku tidak tahu”. Mana ada manusia yang tahu semua perkara. Walau belajar berpuluh tahun pun dengan syaikh-syaikh yang hebat, takkan tahu semua perkara. Inikan pula belajar setahun dua. Suka ponteng pula tu. ;-)

Jom kita belajar “tidak tahu”!

Wednesday, January 5, 2011

khabar Gembira Bagi Pecinta Ahlu Bait Nabi saw

Ahlu bait Rasululullah saw memang memiliki kemuliaan khusus dan beliau saw pun telah menunjukkan perhatiannya yang amat besar kepada mereka. Di masa hidupnya, beliau berulang-ulang menghimbau agar umatnya mencintai dan menyayangi mereka. Dengan itu pula Allah swt telah memerintahkan dalam firmannya :
‘Katakanlah, Hai Muhammad : Aku tidak minta upah (imbalan) apa pun atas hal itu (dakwah risalah Islam), kecuali agar kalian mencintai keluargaku’.[1]
Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi saw tidak meminta kepada kaum muslimin atas penyampaian agama yang lurus (Islam) keuntungan duniawi, tetapi Nabi saw hanya meminta agar kaum muslimin mencintai Allah swt dan Rasul-Nya dalam mendekatkan diri kepada Allah swt dengan cara mencintai keluarga Nabi saw.
Karena itu, sudah sepatutnya seluruh kaum muslimin memenuhi hati mereka dengan kecintaan dan kasih sayang kepada ahlu bait serta menghormati dan memuliakan mereka, demi kekerabatan mereka dengan Rasulullah saw, tanpa berlebih-lebihan dan sikap keterlaluan. Rasulullah saw bersabda : 
‘Dua golongan akan binasa akibat sikapnya terhadap Ali, yaitu golongan yang mencintainya secara berlebih-lebihan sehingga kecintaannya itu membawa mereka ke jalan yang tidak benar; dan golongan yang lain ialah mereka yang membenci Ali secara berlebih-lebihan sehingga kebenciannya membawa mereka ke jalan yang tidak benar. Orang yang bersikap baik terhadap diriku ialah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh jamaah terbanyak. Karena itu hendaklah kalian berpegang pada jalan itu. Ingatlah bahwa pertolongan Allah dilimpahkan kepada jamaah. Janganlah kalian bercerai-berai, karena orang yang memisahkan diri dari jamaah akan menjadi mangsa setan, sebagaimana kambing akan menjadi mangsa srigala bila ia terpisah dari rombongannya…‘

Bagi para pecinta ahlu bait Nabi saw, Rasulullah saw telah memberikan kabar gembira kepada mereka. Mereka yang mengikuti dan mencintai ahlu bait dengan tulus ikhlas, Rasulullah saw menjanjikan surga, sebagaimana sabdanya :
يا علي ان اول من يدخل الجنة أنا وانت و فاطمة والحسن و الحسين. قلت يا رسول الله فمحبنا , قال من وارئكم.
‘Wahai Ali, sesungguhnya yang pertama-tama masuk ke dalam surga adalah saya, engkau, Fathimah, Hasan dan Husein. Aku (Ali) berkata : ‘Bagaimana dengan orang-orang yang mencintai kita (ahlu bait). Rasul saw menjawab : Mereka akan masuk surga setelah kalian’.[2]
Rasulullah saw bersabda :
انما سميت ابنتي فاطمة لان الله عز و جل فطمها وفطم محبيها من النار
‘Sesungguhnya dinamakan anakku dengan Fathimah dikarenakan Allah azza wa jalla memutuskan dia dan orang-orang yang mencintainya dari sentuhan api neraka’.[3]
Rasulullah saw bersabda :
انا اول الناس دخولا في الجنه ثم ذريتي ثم محبونا يدخل الجنة بغير حساب لا يسألون عن ذنبهم بعد المعرفة و المحبة
‘Aku orang yang pertama masuk ke dalam surga, kemudian keturunanku, kemudian orang-orang yang mencintai kita (ahlu bait) masuk surga tanpa dihisab dan mereka tidak ditanya akan dosanya setelah mereka mengenal dan mencintai (ahlu bait)‘.[4]
Rasulullah saw bersabda :
يا علي خلقت من شجرة و خلقت منها و أنا اصلها و انت فرعها والحسن و الحسين اغصانها ومحبونا اوراقها فمن تعلق بشيئ منها ادخله الله الجنة


‘Wahai Ali, aku dan engkau diciptakan dari sebuah pohon, Aku dahannya dan engkau cabangnya, Hasan dan Husein rantingnya dan orang-orang yang mencintai kita (ahlu bait) adalah daunnya. Siapa yang bergelantungan di salah satu pohoh itu, Allah swt masukkan ke dalam surga.[5]
Rasulullah saw bersabda :
اول من يرد على الحوض اهل بيتي ومن احبني من امتي
‘Yang pertama akan berkumpul di telaga Haudh adalah ahlu baitku dan orang-orang yang mencintaiku dari umatku’.[6]
Mungkin dibenak kaum muslimin terlintas pertanyaan mengenai siapa ahlu bait saat ini yang patut dicintai dan diikuti. Jawabnya adalah siapa saja dari kalangan ahlu bait yang perilakunya menyamai atau hampir seperti prilaku salaf (leluhur) mereka yang saleh, dan menempuh jalan mereka yang diridhai, maka ia adalah imam yang cahayanya dijadikan pelita penerang dan teladannya diikuti, seperti halnya para leluhur mereka yang berjalan di atas jalan hidayah. Sebab dari merekalah imam-imam besar di masa-masa yang lalu, seperti amirul mukminin Imam Ali bin Abi Thalib, al-Hasan dan al-Husein, Ja’far bin Abi Thalib, Hamzah, Abdullah bin Abbas, Abbas paman Nabi saw, Imam Ali Zainal Abidin bin Husein, Imam Muhammad al-baqir dan puteranya Imam Ja’far al-Shaddiq dan imam-imam lainnya dari ahlu bait yang disucikan, dari yang terdahulu sampai keturunan mereka yang datang kemudian.
Adapun mereka yang berasal dari ahlu bait tetapi tidak menempuh jalan leluhur mereka yang disucikan, lalu mencampuradukkan antara yang baik dan buruk disebabkan kejahilannya, seyogyanyalah mereka pun tetap dihormati sewajarnya, semata-mata disebabkan kekerabatan mereka dengan Nabi saw. 
Namun siapa saja yang memiliki keahlian atau kedudukan untuk memberi nasehat, hendaknya tidak segan-segan menasehati mereka dan mendesak agar mereka kembali menempuh jalan hidup para pendahulu mereka yang baik-baik, yang berilmu, beramal saleh, berakhlaq mulia dan berperilaku luhur. Juga menegaskan bahwa mereka sebenarnya lebih utama dan lebih patut berbuat seperti itu, dan bahwa kemuliaan nasab saja tak akan bermanfaat dan tak akan meninggikan derajat, selama mengabaikan ketaqwaan, mencurahkan penuh perhatian pada dunia, meninggalkan amalan-amalan ketaatan serta menistai diri dengan berbagai maksiat.
Berkata al-Mutanabbi :
إذا لم تكن نفس الشّريف كأصله # فما الّذى تغنى رفاع المناصب
 
Bila jiwa sang bangsawan menyimpang dari leluhurnya
Tiada manfaat diperoleh walau tinggi kedudukannya.[7]
 
Tidaklah sepatutnya bagi seseorang yang diikuti, mengagung-agungkan atau menunjukkan puji-pujian kepada seorang jahil walau pun ia bernasab mulia atau dari keturunan orang-orang saleh. Sebab memuliakan dan memberi pujian yang ditujukan kepadanya secara terang-terangan adakalanya justru menjauhkannya dari kewajiban agamanya, mendorongnya untuk berani kepada Allah, membuatnya enggan melakukan amal-amal saleh dan menghalanginya daripada membekali diri untuk akhiratnya.
                   Dengan demikian, orang yang mengagung-agungkan dan memujinya ikut menjadi penyebab kerusakan dan penyimpangannya atau seperti orang yang sengaja hendak membinasakannya. Dengan itu pula, tentunya akan mendatangkan atas dirinya sendiri, murka Allah swt dan Rasul-Nya serta para salaf shalihin yang kepada mereka itulah berlanjut nasab si jahil tersebut, dan dengan mereka, ia merasa menjadi mulia. Sungguh mengherankan, betapa seseorang dapat terkelabui oleh nasab mulia semata-mata yang tidak diikutinya dengan nilai-nilai luhur?! Betapa ia mengandalkan itu sedangkan Rasulullah saw bersabda kepada putrinya tercinta :
يا فاطمة بنت محمد لا أغنى عنك من الله شيئا
‘Wahai Fathimah binti Muhammad, sungguh aku takkan cukup sebagai pembelamu di hadapan Allah swt’.[8]
 
              Ada pula sebagian orang yang bila dikatakan pada mereka bahwa si fulan, yang termasuk anggota ahlu bait (keturunan Rasul saw), melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama atau mencampurbaurkan antara yang halal dan haram, maka mereka itu berkata : ‘Biarlah, ia adalah seorang ahlu bait. Rasulullah saw pasti akan memberikan syafaat untuk anak cucunya, dan mungkin pula dosa-dosa yang bagaimanapun tak akan menjadi mudarat atas mereka’. 


             Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi setiap orang lainnya yang tergolong kaum jahil. Betapa seorang akan berkata seperti itu, sedangkan dalam alquran terdapat petunjuk bahwa anggota kelaurga Rasulullah saw dilipatgandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya, yaitu dalam firman Allah :
‘Hai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kamu melakukan perbuatan keji yang nyata, dlipatgandakan baginya siksaan dua kali lipat dan itu mudah bagi Allah. Barangsiapa di antara kamu tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal saleh, kepadanya Kami beri pahalanyanya dua kali dan Kami sediakan baginya rizki yang melimpah‘.[9]
            Istri-istri Rasulullah saw adalah bagian dari keluarga rumah tangga beliau. Oleh sebab itu, siapa saja yang mengatakan atau mengira bahwa meninggalkan perbuatan ketaatan atau mengerjakan kemaksiatan tak mendatangkan mudarat bagi seseorang disebabkan kemuliaan nasabnya atau karena kebaikan amal serta pekerti luhurnya, maka orang itu sesungguhnya telah membuat dusta keji tentang Allah swt serta menyalahi ijma’ seluruh kaum muslimin.
           Karena itu sudah selayaknya bagi para ahlu bait yang hidup saat ini, yang berada pada posisi di mana Allah swt berkehendak membersihkan kotoran pada mereka sebersih-bersihnya, agar selalu ingat anugerah yang telah diberikan-Nya kepada mereka dan selalu mengikat dengan kuat hubungan mereka dengan kitabullah serta menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhkan larangan-Nya. 
Tanggungjawab ahlu bait yang paling penting adalah mereka harus mengetahui kedudukan mulia yang dimiliki Rasulullah saw serta keluhuran namanya, demikian pula sesuatu yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada beliau berupa keluhuran jiwa dan kesucian hati, serta bagaimana Rasulullah saw mendidik istri-istri dan anak cucunya dengan pengarahan yang baik serta pensucian jiwa yang matang agar rumah tangga beliau saw menjadi sebaik-baik rumah tangga di bumi dari segi akhlaqnya, amaliahnya, ilmu dan sopan santunnya, sebagaimana Rasulullah saw sendiri menjadi panutan yang diberkahi bagi kaum muslimin, yang wajib diikuti oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
‘Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah‘.[10]
Kehidupan, jihad, akhlaq dan kecintaan Rasulullah saw terhadap akhirat melebihi urusan keduniaan ini, yang tercermin dalam ibadah, zuhud, qiyamul lail dan dzikir beliau saw serta rasa takut dan tangis nya kepada Allah swt, sehingga ketika beliau ditanya oleh Siti Aisyah setelah melakukan qiyamul lail sampai kedua kakinya bengkak, ‘Mengapa engkau lakukan ini ya Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang kemudian?’. Rasulullah saw menjawab : ‘Bukankah dengan demikian aku menjadi seorang hamba yang sangat bersyukur’.


Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw seharusnya menjadi dasar dan pedoman para ahlu baitnya yang hidup saat ini untuk mengikuti jejak datuknya Rasulullah untuk bersyukur terhadap kemuliaan yang Allah swt telah berikan kepada mereka. Dengan kedudukannya yang mulia, ahlu bait hendaklah menjadi para pembawa nasehat yang tulus bagi seluruh umat Islam dan bagi Allah serta Rasul-Nya, baik bagi kalangan ulama muslim ataupun bagi kalangan awam. Jauhkanlah hal-hal yang berbau khilafiyah (perselisihan yang berbahaya) serta waspada, tidak mendukung orang-orang yang selalu memihak hawa nafsunya dan terhadap fitnah yang mereka lontarkan yaitu berupa perkataan-perkataan dusta dan keliru mengenai hak kedudukan sebagian tokoh-tokoh ahlu bait yang suci, yakni pendapat mereka yang berseberangan dengan penjelasan alquran yang mulia dan sunnah Rasul saw serta bertentangan dengan logika, ketetapan agama yang sudah diyakini dan apa yang telah disepakati oleh golongan ahlu sunnah wal jamah sejak masa yang lalu.
Berbahagialah kalian wahai ahlu bait dengan nasab yang mulia ini, dan semoga umat Islam memohon agar Allah swt memberi pertolongan kepada mereka dalam mengemban tanggungjawab ini dan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban ini agar mereka menjadi orang-orang yang selalu dicintai Allah swt dan diridhai oleh Rasul-Nya serta menjadi suri tauladan yang baik bagi umat Islam seluruhnya.

KEMULIAAN KETURUNAN (AHLULBAIT) RASULULLAH SAW

Siapakah sebenarnya yang dimaksud Ahlul-Bait ?
Perbedaan faham, pengertian atau pendapat mengenai kata Aal (Ahlul-bait atau keluarga) Muhammad saw. bukan masalah baru. Kelainan mengartikan kata tersebut telah berlangsung sejak masa lampau. Karena itu adanya perbedaan pendapat dalam mengartikan kata tersebut pada zaman kita sekarang ini, tidak mengejutkan. Tidak lain ini hanya merupakan kelanjutan dari perbedaan yang pernah terjadi zaman dahulu. Hingga kapan perbedaan itu akan berakhir sepenuhnya ditangan Allah swt.. Dalam kaitannya masalah tersebut, yang penting bagi kita ialah mengetahui benar duduk persoalannya, dan untuk itu sangat diperlukan penjelasan.
Para ahli figih tidak semuanya sepakat dalam memberikan makna Aali. Dengan adanya perbedaan tersebut mereka juga berbeda dalam menentukan hukum. Imam Hanafi, Maliki dan Ahmad telah mengatakan bahwa Aali dan Ahli adalah sama arti atau maknanya, namun masing-masing diantara mereka memberi ketentuan yang berlainan.
Imam Hanafi berpendapat bahwa Ahli Bait seseorang, Aali dan jenisnya adalah satu yaitu setiap orang yang mempunyai pertalian nasab, sekali pun kepada nenek moyangnya baik yang muslim maupun yang tidak muslim. Ada pula yang mensyaratkan Islamnya ayah atau datuk yang paling tinggi. Maka semua anak yang dinasabkan kepada ayah ini termasuk lelaki, wanita dan anak-anak adalah ahli keluarganya.
Imam Malik berpendapat lain lagi bahwa kata Aali adalah orang yang mendapat asobah dan setiap orang yang mendapat asobah dan setiap wanita jika ia bergabung dengan lelaki maka ia menjadi asobah. Imam Hanbali berpendapat bahwa Aali seseorang dan Ahli Baitnya, kaumnya, keturunan dan kerabatnya adalah sama maknanya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa Aali seseorang adalah kerabat dan keluarga yang di tanggung nafkahnya, sedangkan Ahli Baitnya adalah kerabat dan isterinya.
Sedangkan arti Aali dalam kalimat selawat kepada Nabi saw. dan arti kata ‘Ahlul-Bait’ dalam firman Allah swt. surat Al-Ahzab : 33, ini mempunyai pengertian khusus yang bermakna: ‘keluarga/kerabat Rasulallah saw.’. Pendapat terbanyak dari ulama pakar mengatakan bahwa yang dimaksud disini ialah kerabat beliau saw. yang diharamkan kepada mereka menerima sedekah atau zakat. Ada lagi yang mengatakan Aali Muhammad berarti semua ummat Muhammad saw. yang menerima perintah beliau saw. atau orang yang bertakwa, termasuk Imam Malik dan Al-Azhari cenderung dengan pendapat ini, sedangkan Baihaqi dan lain-lain menolak pendapat ini.
Seandainya arti Aali Muhammad itu setiap mukmin yang bertakwa seperti pendapat Imam Malik diatas niscaya sedekah atau zakat tidak dibolehkan dan diharamkan kepada mereka, sebagaimana diharamkan kepada keluarga Rasulallah saw., Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, tetapi tidak ada yang berpendapat demikian! Pendapat ini sangat jauh dari penafsiran yang sebenarnya!!. (baca keterangan selanjutnya).
Pendapat yang terbanyak mengenai Aali Muhammad saw. dalam kalimat selawat ialah Rasulallah saw. dan keturunannya termasuk disini Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, begitu juga yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i dalam Harmalah yang dikutip dari Al-Azhari, Baihaqi dan lain-lain, serta di kemukakan juga oleh mayoritas sahabat-sahabat baginda Rasulallah saw. Mereka berdalil pada hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa beliau saw. bersabda: ‘Sesungguhnya sedekah diharamkan kepada Muhammad dan juga kepada Aali Muhammad’.
Dalam kaitannya masalah tersebut, yang penting bagi kita ialah mengetahui benar duduk persoalannya, dan untuk itu sangat diperlukan penjelasan. Sebagai bahan pemikiran baiklah kita ketengahkan beberapa pengertian/ paham para ulama diantaranya Ibnul Qayyim di kitabnya Jala’ul-Afham serta para ulama lainnya. Uraian/penjelasan makna Aal (Ahlul-bait atau keluarga) Muhammad Rasulallah saw. dan Ahlul-Bait dalam surat Al-Ahzab:33, para ahli tafsir mempunyai beberapa pendapat sebagai berikut:
Pengertian (faham) pertama: Yang dimaksud dengan Aal Muhammad saw. ialah mereka yang oleh Rasulallah saw. diharamkan menerima sedekah/ shodaqah. Mengenai siapa mereka ini terdapat tiga macam pendapat di kalangan ulama:
a). Mereka itu adalah anak-cucu keturunan Bani Hasyim dan Bani Al-Mutthalib. Pendapat ini sesuai dengan madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali. Demikian juga menurut Ibnul-Qayyim, Ibnu Taimiyyah dan lain-lain..
b). Yang dimaksud Aal Muhammad saw. ialah khusus anak cucu keturunan Bani Hasyim, pendapat ini termasuk dalam madzhab Hanafi. Sebenarnya pendapat ini berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal berdasarkan ta’rif (kesimpulan) Abul Qasim, sahabat Imam Malik bin Anas.
c). Aal Muhammad ialah mereka anak cucu keturunan Bani Hasyim dan kaum kerabat dekat mereka, baik menurut garis silsilah keatas mau pun ke bawah hingga anak cucu keturunan Ghalib. Kesimpulan seperti ini dikemuka- kan oleh Asyhab, seorang sahabat Imam Malik. Demikian juga menurut penulis kitab Al-Jawahir dan menurut Al-Lakhmiy dalam kitab At-Tabasshur. Riwayat ini sesungguhnya berasal dari Al-Ashba’, tetapi tidak disebut nama Al-Ashba’ sebagai salah satu sumbernya.
Pihak yang berpegang pada tiga macam pengertian (a,b,c) tersebut sepakat menetapkan, bahwa Aal Muhammad saw. diharamkan menerima shodaqah. Mengenai ini tidak ada perbedaan pendapat antara mereka, sebab nash mengenai itu berasal dari Rasulallah saw. sendiri.
Dalil-dalil yang digunakan pengertian/faham pertama ini ialah:
1). Yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori didalam Shohih-nya dari Abu Hurairah ra. sebagai berikut: “Pada musim panen kurma datanglah beberapa orang kepada Rasulallah saw. membawa buah kurma hingga terkumpul banyak di rumah beliau saw.. Tak lama kemudian datanglah Al-Hasan dan Al-Husain ketika itu masih kanak-kanak lalu bermain-main dengan beberapa buah kurma. Al-Hasan ra memasukkan kedalam mulut buah kurma yang diambilnya hendak dimakan. Melihat itu Rasulallah saw.cepat-cepat mengeluarkan buah kurma itu dari mulut cucunya sambil berkata: ‘Apakah engkau tidak mengerti bahwa keluarga (aal) Muhammad tidak makan shadaqah’ “? Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dengan susunan kalimat ‘Shadaqah tidak dihalalkan bagi kami’.
2a). Hadits shohih berasal dari Zaid bin Al-Arqam yang menuturkan sebagai berikut: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berkhutbah didepan kami, dekat sumber air bernama Khuma, terletak diantara Makkah dan Madinah. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah, mengingatkan dan memberi nasihat-nasihat kepada kami, beliau saw. lalu menyatakan: “Amma ba’du, sesungguhnya aku adalah manusia. Tidak lama lagi akan datang kepadaku utusan Allah (malaikat jibril) dan akan kuterima. Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Ambillah Kitabullah itu dan berpeganglah teguh padanya. Kemudian beliau saw. melanjutkan setelah berhenti sejenak; Dan ahlu-baitku…Kuingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlu-baitku –beliau mengulangi tiga kali”.
Mendengar hadits dari Zaid tersebut Hashin bin Sarbah bertanya: “Hai Zaid, siapakah ahlu-bait (keluarga) beliau saw.? Bukankah para ummul mu’minin (isteri-isteri beliau) ahlu-bait beliau? Zaid menjawab: ‘Para isteri beliau ter- masuk ahlubaitnya, tetapi orang-orang selain beliau saw. yang diharamkan menerima shadaqah juga termasuk ahlubait beliau’. Hashin bertanya; ‘Siapakah mereka itu’ ? Zaid menjawab: ‘Mereka ialah keluarga ‘Ali (bin Abi Thalib), keluarga ‘Aqil (bin Abi Thalib), keluarga Ja’far (bin Abi Thalib) dan keluarga Al-‘Abbas (bin ‘Abdul Mutthalib)’. Hashin bertanya; ’Apakah mereka semua diharamkan menerima shodaqah’? Zaid menjawab; ‘Ya, itu telah menjadi ketentuan Rasulallah, karena beliau telah menyatakan bahwa shadaqah tidak dihalalkan bagi aal (ahlu-bait, keluarga) Muhammad’ “.
b). Tetapi Imam Muslim meriwayatkan nash yang serupa diatas ini yang ber- asal dari sumber lain mengandung makna berlainan yaitu sebagai berikut: “…Kami bertanya (kepada Zaid): ‘Apakah para isteri beliau saw. termasuk ahlubait Rasulallah saw.’? Zaid menjawab: ‘Tidak, demi Allah! Sebab isteri mungkin hanya untuk sementara waktu saja hidup bersama suami. Bila terjadi perceraian, isteri akan kembali kepada orang tua atau sanak famili- nya. Ahlubait beliau ialah orang-orang dari mana beliau berasal, dan kaum kerabat beliau yang diharamkan menerima shodaqah, seperti beliau saw. sendiri ‘ “!
Imam Nawawi dalam uraiannya mengatakan, bahwa dua buah riwayat hadits diatas tersebut (2a/b) tampak berlawanan. Yang jelas diketahui ialah bahwa dalam kebanyakan riwayat yang diketengahkan oleh (Imam) Muslim mengenai soal itu, Zaid bin Arqam mengatakan: para isteri Rasulallah saw. bukan ahlubait beliau. Karena itu riwayat hadits yang pertama diatas harus di ta’wilkan, bahwa dimasukkannya para isteri Rasulallah saw. kedalam lingkungan ahlulbait, karena mereka itu tinggal bersama Rasulallah saw., dan diperlakukan oleh beliau sebagai keluarga. Beliau saw. memerintahkan supaya mereka itu dihormati dan dimuliakan serta disebut sebagai ‘tsaqal’. Beliau juga mengingatkan juga supaya hak-hak mereka dipelihara dan di penuhi. Atas dasar penta’wilan itu maka para isteri Rasulallah saw. memang termasuk dalam lingkungan ahlulbait, tetapi mereka tidak termasuk orang-orang yang diharamkan menerima shodaqah. Dengan demikian hilanglah sifat berlawanan antara dua riwayat hadits yang diketengahkan oleh Imam Muslim.
3). Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Az-Zuhri yang menerimanya dari ‘Urwah dan ‘Urwah menerimanya dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa: “Pada suatu hari Fathimah ra mengirim utusan kepada Abubakar Ash-Shiddiq ra.untuk menanyakan warisan yang dapat diterima dari ayahandanya (Rasulallah saw.). Abubakar menjawab bahwa ia mendengar sendiri Rasulallah saw.pernah menyatakan: ‘Kami tidak mewariskan. Apa yang kami tinggal adalah shadaqah. Keluarga Muhammad diharam- kan menerima shadaqah’ “. Dengan demikian jelaslah bahwa ahlu-bait Muhammad saw. mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu, antara lain: Diharamkan menerima shadaqah, tidak mewarisi harta Nabi (jika ada), mereka berhak menerima seperlima bagian dari harta ghanimah (rampasan perang), dan berhak menerima ucapan shalawat.
4). Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Syahab memberitakan atas anjuran beberapa orang sahabat, al-Fadhl bin Al-‘Abbas pernah datang menghadap Nabi saw., minta kepada beliau agar dirinya di angkat sebagai petugas pengumpul zakat. Nabi menjawab; ‘shadaqah bukan lain adalah kotoran, karenanya tidak halal bagi Muhammad (saw).dan ahlu-bait Muhammad (saw.)’.
5). Hadits riwayat Muslim dalam Shohih-nya berasal dari ‘Aisyah ra yang menuturkan: “Pada suatu hari ketika Rasulallah saw. siap menyembelih seekor kambing, beliau bersabda: ‘Ya Allah, terimalah dari Muhammad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhammad dan dari Ummat Muhammad’, setelah itu barulah kambing disembelih”. Hadits ini menunjukkan kedudukan yang berlainan antara ahlu-bait Muhammad saw. dan ummat Muhammad saw. Ummat beliau adalah umum, sedangkan ahlu-bait beliau adalah khusus. Penafsiran kata aal (ahlu-bait atau keluarga) Muhammad saw. yang diucapkan sendiri oleh Rasulallah saw pasti lebih benar dan lebih utama dari- pada penafsiran orang lain.
Pengertian/paham kedua:
Paham pihak kedua ini mengatakan yang dimaksud Ahlul-Bait hanya untuk lima orang saja. Mereka ini dengan berdasarkan riwayat dari Aisyah, Ummu Salamah, Abu Said Al-Khudri dan Anas bin Malik [ra] tentang surat Al-Ahzab : 33, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda dan kotoran (dosa) dari kalian, ahlul bait , dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ turun hanya untuk lima orang saja yaitu: Rasulallah saw., Amirul mukminin Ali kw., Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain (ra). Rasulallah saw. juga telah bersabda seraya menunjuk kepada Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain: ‘Ya Allah mereka ini Ahli Baitku, maka hilangkanlah noda kotoran (ar-rijsa) dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.
Hadits-hadits yang semakna, silahkan rujuk:
Shahih Muslim, kitab Fadhail Ash-Shahabah, bab Fadhail Ahlul Bait Nabi, jilid 2, hal.368, cet.Isa Al-Halabi; jilid 15 hal.194, syarah An-Nawawi, cet.Mesir ; Shahih At-Tirmidzi, jilid 5, hal. 30, hadits ke 3258; hal. 328 hadits ke 3875, cet. Darul Fikr.; Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5, hal.25, cet. Darul Ma’arif, Mesir; Musnad Ahmad jilid 3, hal.259 dan 285; jilid 4, hal.107; jilid 6 hal.292, 296, 298, 304 dan 306 , cet. Mesir.; Al-Mustadrak Al-hakim, jilid 3, hal.133, 146, 147, 158 ; jilid 2, hal. 416 ; Tafsir Ath-Thabari jilid 22 hal. 6, 7 dan 8, cet.Al-Halabi Mesir ; Tafsir Al-Qurtubhi jilid 14, hal. 182, cet. Kairo ; Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, hal. 483, 494 dan 495, cet. Mesir ; Tafsir Al-munir Lima’alim At-Tanzil, oleh Al-jawi, jilid 2 hal. 183 ; Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh At-Thabarani jilid 1, hal. 65 dan 135 ; Khashaish Amirul Mu’minin, oleh An-Nasa’i Asy-Syafi’i hal.4, cet. At- Taqaddum Al-‘Ilmiyah, Mesir ; Cet.Beirut hal. 8 ; cet.Al-Haidariyah hal.49 ; Tarjamah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, dalam tarikh Damsyiq, oleh Ibnu Asakir Asy-Syafi’i jilid 1, hal. 185 ; Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i , hal.45, 373-375 ; Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i, jilid 2, hal. 12, 20 ; jilid 3 hal.413 ; jilid 5 hal. 521, 589 ; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi jilid 5, hal. 198, 199;Al-Itqan fi ‘ulumil Qur’an jilid 4 hal. 240, cet.Mathba’ Al-Masyhad Al-Husaini, Mesir ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi, hal. 107, 108, 228, 229, 230, 244, 260 dan 294, cet.Istanbul ; cet.Al-Haidariyah hal. 124, 125, 135, 196, 229, 269, 271, 272, 352 dan 353. Dan masih banyak lagi yang tidak bisa kita cantumkan disini semua karena mengingat halaman buku ini.
Jawad Mughniyyah didalam kitabnya Al-Husain Wal Qur’an mengatakan:
“Sebagian besar para ahli tafsir berpegang pada sebuah hadits shohih yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri ra yang menuturkan bahwasanya Rasulallah saw. telah menegaskan:’Ayat itu turun mengenai lima orang; Aku sendiri, ‘Ali (bin Abi Thalib ra), (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain’. Atas dasar penegasan beliau itu maka yang dimaksud ahlul-bait adalah lima orang keluarga Nubuwwah tersebut. Kebenaran tersebut diperkuat oleh sebuah hadits shohih lainnya yang diketengahkan oleh banyak ulama hadits, yaitu Haditsul-Kisa “.
Dengan demikian jelas menurut paham kedua ini yang dimaksud Ahlu-Bait Rasulallah saw. adalah hanya lima orang yang tersebut diatas ini (dan keturunan mereka), hal ini diperkuat lagi dengan adanya hadits Al-Kisa dan hadits Tsaqalain. (baca keterangan selanjut- nya tentang hadits al-Kisa’ dan hadits Tsaqalain)
Menurut ulama, pendapat kedua ini adalah adalah pendapat yang terbanyak di riwayatkan dalam hadits-hadits dibandingkan pendapat-pendapat lainnya serta penafsiran yang paling tepat dan benar yang banyak diterangkan oleh ulama-ulama pakar ahli tafsir dan hadits.
Pengertian/paham ketiga:
Aal Muhammad saw. adalah anak cucu keturunan beliau saw. dan khusus- nya para isteri beliau saw. Hal itu dikemukakan oleh Ibnu ‘Abdul Bir dalam At-Tamhid. Dalam kitab ini ia menguraikan sebuah hadits berasal dari Hamid As-Sa’idiy yang menuturkan: “Ada sementara golongan yang menggunakan hadits sebagai hujjah/dalil, bahwa Aal Muhammad saw. ialah para isteri dan anak cucu keturunan (dzurriyyah) beliau saw. Hal ini didasarkan pada pernyataan Rasulallah saw. didalam hadits Malik yang berasal dari Nu’aim Al-Mujmar, dan dalam hadits lain yang tidak dikemukakan oleh Imam Malik. Yaitu sebuah hadits yang nashnya berbunyi: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, kepada para isteri dan anak cucu keturunan beliau’ “.
Pihak paham ketiga ini mengatakan bahwa hadits tersebut menegaskan bahwa Aal Muhammad saw. ialah para isteri dan anak cucu keturunan Rasulallah saw. Lebih jauh lagi mereka ini mengatakan: “Orang yang bertemu dengan salah satu dari isteri Nabi saw. atau dengan salah satu dari anak cucu keturunan beliau, boleh mengucapkan: ‘Allah telah melimpahkan shalawat kepada anda (shollallahu ‘alaika)’. Bila tidak bertemu langsung, bolehlah orang mengucapkan: ‘Allah telah melimpahkan shalawat kepadanya (shollallahu ‘alaihi)’. Akan tetapi kepada selain mereka ini tidak di perbolehkan”.
Selanjutnya mereka berpendapat, bahwa kata aal, ahlul-bait dan ahl mempunyai arti yang sama. Keluarga dan anak cucu keturunan seseorang adalah sama artinya, yaitu para isteri dan anak cucu keturunannya. Persamaan arti kata-kata ini mereka dasarkan pada hadits yang telah kita kemukakan diatas.
Dalil-dalil pengertian atau faham ketiga ialah:
a). Ibnu ‘Abdul-Bir menunjuk kepada hadits Ibnu Hamid As-Sa’idi sebagai berikut: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, kepada isteri-isterinya dan kepada anak-cucu keturunannya’. Sedangkan dalam hadits yang lain terdapat susunan kalimat: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada aal (ahlu-bait) Muhammad’. Maksud hadits yang terakhir ini menyimpulkan makna hadits yang pertama.
b). Selain itu mereka ini berdalil dengan hadits Abu Hurairah ra. yang di- riwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan dalam do’anya; “Ya Allah, anugerahilah aal (keluarga) Muhammad rizki berupa makanan sehari-hari’ (yakni rizki untuk makan sehari-hari)”. Do’a beliau saw. ini benar-benar terkabul dan ternyata tidak meliputi semua anak cucu keturunan Bani Hasyim dan anak cucu keturunan Bani ‘Abdul Mutthalib. Diantara mereka itu hingga sekarang banyak yang menjadi hartawan dan mendapat rizki lebih dari sekedar cukup untuk makan sehari-hari. Lain halnya para isteri Nabi dan anak-cucu keturunan Nabi saw. yang hanya beroleh rizki sekedar cukup untuk makan sehari-hari.
c). Terdapat sebuah riwayat yang menuturkan bahwa isteri Rasulallah saw., ‘Aisyah ra., pernah menerima hadiah kekayaan cukup besar dari seorang penduduk. Akan tetapi begitu menerimanya seketika itu juga dibagikan kepada kaum fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, hingga habis semuanya. Melihat kenyataan itu jariyahnya (pelayannya) tercengang, lalu berkata: ‘Seumpama ibu tinggalkan barang satu dirham, tentu kita dapat membeli daging’. ‘Aisyah ra menjawab; ‘Seumpama engkau tadi meng- ingatkan, itu tentu kulakukan’.
d). Sebuah hadits shohih dari ‘Aisyah ra. yang pernah terus terang mengatakan:”‘Aal (keluarga) Muhammad saw. tidak pernah kenyang makan roti gandum berturut-turut selama tiga hari”. Demikianlah keadaannya hingga saat beliau pulang ke haribaan Allah swt. Dari hadits ini golongan faham ketiga menarik suatu pengertian, bahwa anak cucu keturunan Al-‘Abbas dan anak-cucu keturunan ‘Abdul-Mutthalib tidak termasuk didalam makna ucapan ‘Aisyah ra. yakni tidak termasuk aal (keluarga) Rasulallah saw.
Mereka ini menegaskan bahwa isteri seseorang adalah keluarganya dan tidak diragukan lagi bahwa para Ummul Mu’minin (para isteri Rasulallah ) adalah keluarga beliau saw.. Kedudukan mereka ini disamakan dengan keturunan beliau saw. karena mereka ini juga tidak mempunyai silsilah (langsung) keatas dengan beliau saw., sebagaimana halnya dengan anak cucu keturunan Nabi saw. kecuali putera-puteri beliau saw. tidak mem punyai hubungan silsilah langsung dengan Nabi saw. yakni melalui Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw. dan Siti Fathimah Az-Zahra ra.
Para isteri Nabi saw.adalah termasuk mereka-mereka yang diharamkan nikah dengan pria lain sepeninggal Rasulallah saw. Mereka adalah isteri-isteri beliau didunia dan akhirat. Karena hubungan khusus mereka dengan Nabi saw. inilah mereka disamakan kedudukannya dengan keturunan beliau dengan kata lain mereka ini termasuk juga aal (ahlu-bait, keluarga) Nabi saw.. Mereka memandang para isteri Nabi saw. termasuk juga orang-orang yang diharamkan menerima shodaqah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal karena shodaqah adalah kotoran dari orang lain. Allah swt. telah memelihara kemuliaan dan keagungan Nabi dan Rasul-Nya beserta segenap anggota keluarga beliau dari setiap kotoran yang diberikan kepada mereka sebagai shodaqah. Begitu juga menurut paham ketiga, hadits-hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa para isteri Nabi saw. berhak menerima sholawat.
Alangkah anehnya jika Rasulallah saw. sendiri telah berdo’a: ‘Ya Allah anugerahilah keluarga Muhammad rizki berupa makanan sehari-hari’; ‘Ya Allah terimalah (sembelihan) ini dari Muhammad, dari keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad’; ’Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, kepada isteri-isteri Muhammad dan kepada anak cucu keturunan Muhammad… dan ‘Aisyah ra. sendiri terus terang mengatakan: ‘Keluarga Rasulallah tidak pernah kenyang makan roti gandum selama tiga hari berturut-turut’, tetapi bersamaan dengan semuanya itu lalu orang mengata- kan bahwa para isteri Nabi saw. tidak termasuk dalam ucapan beliau saw. ‘Bahwa shodaqah tidak halal bagi Muhammad dan bagi aal (keluarga) Muhammad’. Padahal jelaslah bahwa shodaqah itu merupakan kotoran!! Demikianlah argumentasi pengertian (faham) ketiga ini.
Ada pihak lain yang menyanggah faham ketiga ini dengan mengatakan sebagai berikut: “Jika para isteri Nabi diharamkan menerima shodaqah, tentu mawali (budak-budak asuhan) mereka diharamkan juga menerima shodaqah”.
Sanggahan ini sangat lemah, sebab jauh untuk disamakan antara para isteri Nabi saw. dan mawali mereka! Pengharaman menerima shodaqah yang berlaku bagi para isteri Nabi saw. sama sekali bukan menurut dzatnya (esensi pribadinya masing-masing), melainkan semata-mata karena terbawa oleh pengharaman shodaqah bagi Rasulallah saw.. Mereka sebelum menjadi isteri Nabi saw, mereka halal menerima shodaqah, yakni sebelum mempunyai hubungan dan ikatan khusus dengan Nabi saw.. Dengan demikian pengharam- an yang berlaku bagi mereka ini merupakan cabang (sempalan) dari pengharaman yang berlaku bagi suami mereka, yakni Rasulallah saw.. Dengan demikian sangat jelas bahwa budak-budak asuhan (mawali) tidak bisa disamakan kedudukannya dengan para isteri Rasulallah saw.!